KonotasiNews.

KonotasiNews.

Menyajikan Berita Berimbang. Menerapkan Kaidah-Kaidah Dan Kode Etik Jurnalistik. Mengedepankan Nilai-Nilai Nasionalisme Demi Persatuan Dan Kemajuan Republik Indonesia.

  • Zucchini Noodles: Menikmati Masakan Rumahan, Mie Sehat Tanpa Gluten
  • Scallops Goreng dengan Saus Vanilla ala Napa dan Sonoma
  • Ayam Oseng Bawang Krispi: Paduan Lezat Oseng Bawang dan Ayam Goreng Renyah
  • Ube Brulee: Dessert Eksklusif dengan Sentuhan Ubi Ungu
  • Jalangkote Makassar: Petualangan Kuliner di Tanah Sulawesi
  • Summer Fruit Salad: Camilan Sehat dan Segar!
  • Sushi Crepes: Dessert Unik yang Menyajikan Kelezatan Crepes dan Whipped Cream
  • Burrata Manis dan Pedas: Kelezatan Creamy dengan Sentuhan Jeruk dan Kuah Madu

Get In Touch

MENGURAI KONFLIK LAUT CHINA SELATAN: TANTANGAN KEDAULATAN INDONESIA DAN DINAMIKA REGIONAL

KonotasiNews, MENGURAI KONFLIK LAUT CHINA SELATAN: TANTANGAN KEDAULATAN INDONESIA DAN DINAMIKA REGIONAL

Klaim wilayah yang saling tumpang tindih di Laut China Selatan (LCS) memiliki dampak yang signifikan, termasuk terhadap kedaulatan Indonesia di Kepulauan Natuna. Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu mempertahankan komitmennya terhadap prinsip-prinsip hukum internasional, terus memperjuangkan kedaulatannya di wilayah tersebut, dan bekerja sama dengan negara-negara tetangga dan komunitas internasional untuk mencari solusi yang damai dan berkelanjutan.

Isu ini telah menjadi pusat perhatian internasional karena klaim wilayah yang saling tumpang tindih antara beberapa negara, termasuk China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Klaim ini tidak hanya mencakup sumber daya alam yang melimpah di perairan tersebut, tetapi juga wilayah strategis yang memiliki dampak signifikan terhadap jalur perdagangan global dan keamanan regional. Salah satu wilayah yang menjadi fokus adalah Kepulauan Natuna, yang merupakan bagian integral dari kedaulatan Indonesia.

China mendasarkan klaimnya atas sebagian besar LCS dengan merujuk pada "Garis Sembilan" yang ditetapkan oleh pemerintah Kuomintang pada tahun 1940-an. Namun, klaim ini ditolak oleh banyak negara terkait dalam konflik LCS dan dianggap tidak sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau yang dikenal sebagai United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Vietnam secara konsisten menentang klaim "Nine Dash Line" dan memiliki klaim atas beberapa pulau di Kepulauan Spratly dan Paracel. Vietnam memperkuat kerjasama maritim dengan negara lain dan sering mengajukan protes terhadap aktivitas China di LCS.

Filipina, yang memenangkan putusan arbitrase 2016, juga meningkatkan kerjasama maritim dan memprotes aktivitas China di LCS. Malaysia dan Brunei Darussalam, yang memiliki klaim di Kepulauan Spratly, berusaha menjaga netralitas dan mendorong penyelesaian damai melalui dialog.

Dari beberapa informasi yang dihimpun oleh penulis di media berita online. Terdapat dinamika dan perkembangan pada isu Laut China Selatan diantaranya adalah sebagai berikut;

  • Pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Sultan Brunei Haji Hassanal Bolkiah, tentang penekanan pada pentingnya kerja sama bilateral antara kedua negara, terutama dalam konteks pembangunan maritim dan menjaga stabilitas di wilayah Laut China Selatan. Xi menyoroti evolusi positif hubungan selama lebih dari tiga dekade dan dampak konkretnya dalam kerja sama praktis di berbagai sektor. Lebih jauh, Xi menyoroti peran China dan Brunei sebagai teladan dalam koordinasi regional dan internasional, mencerminkan perlakuan yang setara dan saling menguntungkan bagi negara besar dan kecil. Sultan Hassanal, sambil menyambut baik perkembangan positif hubungan bilateral, menyoroti komitmen Brunei untuk memperdalam kerja sama dalam kerangka ASEAN, dengan fokus pada perdamaian dan keamanan regional, serta mendukung penyelesaian tata perilaku di Laut China Selatan (Antaranews, 2023).
  • Malaysia menolak Peta Standar China Edisi 2023 yang mengklaim wilayah maritim Malaysia secara sepihak. Malaysia memperkuat penolakannya dengan merujuk pada Perjanjian Baru Peta Malaysia 1979 dan menegaskan konsistensinya dalam menolak klaim asing terhadap kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksi atas kawasan maritimnya. Malaysia juga menyatakan bahwa penyelesaian permasalahan Laut Cina Selatan harus dilakukan secara damai dan rasional melalui dialog dan negosiasi berdasarkan ketentuan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Selain itu, Malaysia berkomitmen untuk menerapkan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC) dan berpartisipasi dalam proses negosiasi Kode Etik (COC) untuk mencapai penyelesaian yang efektif dan substansial dalam waktu yang sesingkat mungkin (Antaranews, 2023). Namun pada konferensi persnya di Melbourne dalam kunjungannya untuk menghadiri KTT ASEAN-Australia, Perdana Menteri Anwar Ibrahim menegaskan bahwa Malaysia mempertahankan hubungan baik dengan China dan menyoroti tekanan yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS) serta sekutunya terhadap negara-negara di wilayah tersebut untuk memilih sisi dalam persaingan antara Barat dan China. Dalam pernyataannya, PM Anwar menyatakan bahwa China menjadi investor utama di Malaysia dan bahwa rakyat Malaysia tidak memiliki masalah dengan China. Dia menegaskan bahwa Malaysia adalah negara yang merdeka dan mandiri serta menolak untuk diatur oleh kekuatan eksternal. Meskipun Malaysia tetap menjaga hubungan penting dengan AS, Eropa, dan Australia, PM Anwar menekankan bahwa negara-negara tersebut tidak boleh memaksa Malaysia untuk mengambil sikap yang tidak bersahabat terhadap China. PM Anwar menegaskan bahwa Malaysia tidak memiliki masalah dengan China, dan negara-negara lain tidak boleh memaksakan masalah mereka terhadap Malaysia (Liputan6, 2024).
  • Tindakan Filipina dan Vietnam yang menandatangani perjanjian pada akhir Januari 2024 untuk memperkuat kerja sama antara pasukan penjaga pantai mereka di Laut Cina Selatan menggambarkan respons terhadap eskalasi ketegangan yang semakin meningkat di wilayah tersebut. Langkah ini diambil dalam konteks klaim yang bersaing atas jalur perairan strategis oleh berbagai negara, terutama dengan Beijing yang telah lama mengklaim sebagian besar wilayah tersebut secara tidak sah. Kunjungan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr., ke Hanoi menjadi momentum penting dalam mengonsolidasikan aliansi yang berkembang antara kedua negara, yang kemungkinan besar akan menimbulkan kekhawatiran di Beijing. Dalam dialog mereka, Marcos mengekspresikan keprihatinannya atas tindakan agresif yang dilakukan oleh pasukan penjaga pantai Tiongkok, yang dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan regional. Melalui perjanjian tersebut, Filipina dan Vietnam sepakat untuk tidak hanya mencegah insiden di Laut Cina Selatan tetapi juga untuk meningkatkan koordinasi dalam isu-isu maritim, dengan tujuan memperkuat kapasitas operasional dan interoperabilitas antara kedua pasukan penjaga pantai. Selain itu, langkah-langkah ekonomi yang diambil, seperti kesepakatan perdagangan beras dan pembahasan potensi investasi di sektor mobil listrik, mencerminkan upaya keduanya untuk memperdalam hubungan bilateral mereka di berbagai bidang, yang dapat membawa implikasi yang lebih luas dalam dinamika politik dan ekonomi regional (INDO-PACIFIC FORUM, 2023).
  • China, melalui pernyataan resminya, menyalahkan Filipina atas eskalasi konflik, menudingnya melakukan tindakan provokatif dengan mengirimkan pasokan konstruksi ke wilayah Second Thomas Shoal. Pihak China menekankan pentingnya solusi damai melalui dialog, sambil menegaskan klaim territorialnya yang luas di LCS. Di sisi lain, Filipina menolak tuduhan tersebut, bersikeras bahwa tindakan mereka didasarkan pada kepatuhan terhadap hukum internasional dan perlindungan terhadap hak kedaulatan wilayah perairannya (CNBC, 2023). Dalam laporan berita yang dipublikasikan oleh AFP pada tanggal 5 Maret 2024, tergambar ketegangan yang semakin memuncak antara Filipina dan China di perairan Laut China Selatan, menandai insiden baru yang melibatkan tabrakan antara kapal Penjaga Pantai Filipina dan China. Komodor Penjaga Pantai Filipina, Jay Tarriela, melaporkan melalui media sosial bahwa manuver berbahaya yang dilakukan oleh kapal Penjaga Pantai China menyebabkan kerusakan struktural ringan pada kapal Filipina, menyoroti eskalasi ketegangan di wilayah tersebut. Kabar terbarunya laporan berita yang dipublikasikan oleh AFP pada tanggal 5 Maret 2024, tergambar ketegangan yang semakin memuncak antara Filipina dan China di perairan Laut China Selatan, menandai insiden baru yang melibatkan tabrakan antara kapal Penjaga Pantai Filipina dan China. Komodor Penjaga Pantai Filipina, Jay Tarriela, melaporkan melalui media sosial bahwa manuver berbahaya yang dilakukan oleh kapal Penjaga Pantai China menyebabkan kerusakan struktural ringan pada kapal Filipina, menyoroti eskalasi ketegangan di wilayah tersebut. Situasi semakin rumit dengan klaim yang ditegakkan oleh China atas sebagian besar wilayah perairan Laut China Selatan, yang bertentangan dengan klaim negara-negara Asia Tenggara dan keputusan internasional yang menunjukkan ketidakterbuktiannya. Melalui laporan dari Global Times, China menegaskan tindakan pengendalian yang diambil terhadap kapal Filipina yang "secara ilegal" memasuki perairan yang berdekatan dengan Ren'ai Jiao di Kepulauan Nansha. Kejadian ini menandai insiden kedua sejak Desember tahun sebelumnya, di mana kapal-kapal China telah menggunakan kekuatan untuk menanggapi keberadaan kapal-kapal Filipina. Sementara Filipina terus menekankan keinginannya untuk menyelesaikan perselisihan secara damai, Menteri Luar Negeri Enrique Manalo juga menyoroti perlunya penghentian tindakan yang merendahkan dari pihak China dengan pesan tegas: "Berhenti melecehkan kami." Dengan demikian, kejadian ini mencerminkan ketegangan yang semakin meningkat di kawasan Laut China Selatan dan menimbulkan tantangan serius bagi stabilitas regional (Detik, 2024).
  • Dalam konteks dinamika perundingan antara Amerika Serikat (AS) dan China, Greg Poling, seorang pakar di bidang Asia Tenggara dan Transparansi Maritim Asia, menyoroti bahwa pertemuan berikutnya antara kedua negara akan sangat dipengaruhi oleh peristiwa seputar pelantikan presiden baru di Taiwan. Dalam forum yang dihadiri oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Poling memperinci bahwa keputusan Beijing untuk melanjutkan atau menghentikan dialog akan menjadi "ujian besar berikutnya," dengan pertanyaan kunci mengenai seberapa besar China merasa perlu untuk mengambil tindakan keras terhadap Taiwan dan apakah mereka akan tetap bersikeras pada pendekatannya setelah pelantikan. Analisis Poling menyoroti kompleksitas dinamika geopolitik di kawasan tersebut. Di sisi lain, dalam menanggapi penjualan senjata AS kepada Taiwan, kementerian Luar Negeri China menegaskan bahwa langkah tersebut menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan dan stabilitas wilayah tersebut. Pernyataan ini mencerminkan ketegangan yang terus meningkat antara AS dan China terkait isu Taiwan, serta kepekaan China terhadap tindakan AS yang dianggap merusak kepentingan negara tersebut. Terlebih lagi, situasi di Laut China Selatan menjadi tambahan dalam gambaran ketegangan regional. Dengan seringnya konflik antara China dan Filipina di wilayah tersebut, kekhawatiran atas potensi krisis semakin meningkat. Bahkan, patroli udara gabungan antara AS dan Filipina di Laut China Selatan menunjukkan upaya untuk memperkuat aliansi pertahanan, yang tidak hanya menimbulkan reaksi negatif dari China tetapi juga menambah kompleksitas dinamika keamanan di kawasan tersebut (Bisnis.com, 2024).
  • China telah mengumumkan rencana peningkatan belanja pertahanannya sebesar 7,2% menjadi 1,67 triliun yuan pada tahun 2024, yang menandai keberlanjutan dari tren peningkatan belanja militer dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan ini terjadi seiring dengan upaya terus-menerus China untuk mengklaim Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya. Meskipun secara resmi anggaran militer China menempatkannya sebagai yang kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, analisis mendalam menunjukkan bahwa pengeluaran militer sebenarnya mungkin jauh lebih besar daripada yang diumumkan. Peningkatan belanja militer ini juga menjadi bagian dari upaya China untuk menegaskan keberadaannya dalam konflik regional, seperti sengketa di Laut China Selatan, di mana China bersikeras atas klaimnya atas sebagian besar wilayah tersebut. Dengan sikap yang semakin tegas terhadap upaya kemerdekaan Taiwan dan melalui pembangunan infrastruktur besar di wilayah Laut China Selatan, China menegaskan kekuatannya dan menantang hegemoni Amerika Serikat di kawasan tersebut. Analisis juga menyoroti ketegangan yang semakin meningkat antara China dan negara-negara lain, termasuk Filipina, yang menyebutkan insiden-insiden kapal yang mengakibatkan ketegangan di LCS. Meskipun keputusan pengadilan arbitrase internasional telah menolak klaim China atas sebagian besar wilayah LCS, China tetap menolak untuk mengakui keputusan tersebut, menunjukkan keteguhan posisinya dalam konflik regional. Dengan demikian, peningkatan anggaran militer China bukan hanya mencerminkan kekuatan militer negara tersebut, tetapi juga keinginan politiknya untuk mempertahankan klaim atas wilayah-wilayah yang dipersengketakan (CNBC, 2024).
  • Reaksi dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia, yang menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap insiden tersebut dan menolak klaim China atas sejumlah pulau karang di Laut China Selatan, menyoroti ketidakseimbangan antara respon global dan regional terhadap provokasi China. Namun, pernyataan yang dikeluarkan oleh ASEAN pada 30 Desember 2023 cenderung bersifat formalitas dan tidak memberikan penilaian yang tegas terhadap pelanggaran UNCLOS yang dilakukan oleh China. Indonesia sendiri mengalami ancaman serupa dari China, seperti terjadi pada awal 2023 ketika kapal penjaga pantai China berpatroli di Laut Natuna Utara, yang merupakan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah tersebut, kehadiran kapal penjaga pantai China mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melindungi kepentingan teritorialnya.
  • Pada pertemuan puncak KTT Asean-Australia di Melbourne, Australia menegaskan komitmen untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara anggota Asean, sambil mengakui meningkatnya pengaruh diplomatis dan militer China di kawasan tersebut. Pernyataan ini menjadi lebih penting karena munculnya kemungkinan Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI, memenangkan posisi presiden Indonesia. Dalam konteks ini, upaya Australia untuk memperkuat hubungan regional dapat menjadi strategis dalam mengatasi tantangan keamanan maritim yang semakin kompleks dan dinamis di kawasan tersebut. Dalam konteks kompleksitas keamanan maritim di kawasan Indo-Pasifik dan Asia Tenggara, Australia menyoroti seriusnya ancaman pertahanan yang mungkin dihadapi oleh negara-negara di wilayah tersebut. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Asean-Australia, Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, secara tegas menekankan bahwa tindakan yang tidak stabil, provokatif, dan koersif, termasuk perilaku yang dianggap tidak aman di laut dan udara, tidak hanya mengganggu stabilitas regional tetapi juga berdampak pada semua negara di kawasan tersebut. Wong secara spesifik mengarahkan perhatian pada situasi di Laut Cina Selatan, Selat Taiwan, dan subkawasan Mekong sebagai wilayah-wilayah yang menjadi sumber kekhawatiran bersama (Kabar24, 2024).

Pada akhirnya penulis melihat di tengah gemuruh ombak Laut China Selatan, terdapat perjalanan yang penuh tantangan dan ketegangan. Dalam lintasan samudra yang luas dan strategis di kawasan Asia Tenggara, terbentang isu yang merumit dan menghantui kedamaian regional: Laut China Selatan. Dalam kerumunan negara-negara yang saling bersaing, klaim atas wilayah maritim ini menjadi sumber ketegangan yang tak kunjung usai. Perseteruan antara China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia menyulut bara konflik yang terus menerus menggelora di perairan tersebut.

Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah klaim bersaing atas wilayah maritim yang melibatkan sumber daya alam yang melimpah. Negara-negara seperti China mendasarkan klaimnya pada sejarah dan konvensi yang ditetapkan puluhan tahun lalu, sementara negara-negara lain menegaskan hak-hak mereka berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional. Perseteruan atas kepemilikan pulau-pulau, terumbu karang, dan sumber daya alam di LCS menjadi pemicu utama ketegangan di kawasan tersebut.

Dalam konteks permasalahan ini, kedaulatan Negara Indonesia terhadap Kepulauan Natuna menjadi fokus yang kian mendalam. Natuna bukan sekadar wilayah terpencil di peta geopolitik, tetapi representasi nyata dari kedaulatan Indonesia di LCS. Namun, klaim yang tumpang tindih dari negara-negara lain, terutama China, menempatkan Indonesia dalam tekanan yang tak terelakkan. Meskipun Indonesia berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum internasional dan memperjuangkan kedaulatannya, tekanan dari luar dapat mengganggu stabilitas dan perdamaian di wilayah tersebut.

Selain itu, keberadaan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan China turut memperumit dinamika konflik di LCS. Amerika Serikat, dengan kepentingan geopolitiknya yang jelas, mencoba memainkan peran sebagai penjaga perdamaian regional, sementara China dengan ambisinya yang meningkat berusaha untuk mengukuhkan dominasinya atas kawasan tersebut. Ancaman dan intervensi dari kedua kekuatan besar ini tidak hanya memperumit upaya penyelesaian damai, tetapi juga menambahkan api pada bara konflik yang sudah berkobar.

Kemudian, kesulitan koordinasi dan konsensus di tingkat regional juga menjadi permasalahan yang tak terhindarkan. Meskipun ASEAN telah berusaha untuk memediasi isu LCS, perbedaan pendapat dan kepentingan antara anggota-anggotanya seringkali membuat upaya koordinasi menjadi mandek. Ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan yang kuat dan efektif menghambat kemajuan dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Dalam bayangan konflik Laut China Selatan, keberadaan Indonesia sebagai salah satu pemain kunci dengan kedaulatannya di Kepulauan Natuna membawa implikasi yang mendalam. Indonesia harus mampu menjaga integritasnya dalam menghadapi klaim yang tumpang tindih dan tekanan dari luar, sambil terus memperjuangkan prinsip-prinsip hukum internasional. Kehadiran Indonesia bukan hanya sebagai penjaga kedaulatan, tetapi juga sebagai penjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan yang penuh dengan ketegangan dan konflik.

oleh Seweit Hotroiman

Referensi

Amer, R. (2014). China, Vietnam, and the South China Sea: disputes and dispute management. Ocean Development & International Law, 45(1), 17-40.

Evers, H. D. (2016). Nusantara: Malaysia and the geopolitics of the South China Sea. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Gordon, Arnold L., Bruce A. Huber, E. Joseph Metzger, R. Dwi Susanto, Harley E. Hurlburt, and T. Rameyo Adi. "South China Sea throughflow impact on the Indonesian throughflow." Geophysical Research Letters 39, no. 11 (2012).

Korkut, E., & Kang, W. H. (2017). China's Nine Dash Line Claim in Light of the Ruling by the Permanent Court of Arbitration (12 July 2016). Penn St. JL & Int'l Aff., 5, 425.

Purwantoro, Y. (2020). Bandwagoning Brunei Darussalam terhadap Republik Rakyat Cina pada Tahun 2018 dalam Konflik Laut Cina Selatan. Indonesian Journal of International Relations, 4(1), 1-24.

Roach, J. A. (2014). Malaysia and Brunei: an analysis of their claims in the South China Sea. Virginia, VA: CNA Corporation.

Rosen, M. E. (2014). Philippine claims in the South China Sea: A legal analysis. Arlington County: Virginia: CNA Corporation.

Antaranews. (2023). Xi: China, Brunei harus bersama jaga perdamaian dan stabilitas di LCS. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/3830283/xi-china-brunei-harus-bersama-jaga-perdamaian-dan-stabilitas-di-lcs

Antaranews. (2023). Malaysia tolak klaim peta baru Laut China Selatan oleh China. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/3704583/malaysia-tolak-klaim-peta-baru-laut-china-selatan-oleh-china

Bisnis.com. (2024). Taiwan dan Laut China Selatan Jadi Kunci Keberlanjutan Pertemuan AS-China. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20240220/620/1742426/taiwan-dan-laut-china-selatan-jadi-kunci-keberlanjutan-pertemuan-as-china

CNBC. (2023). Panas! China-Filipina 'Ribut' Gara-gara Laut China Selatan. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20231226192628-4-500383/panas-china-filipina-ribut-gara-gara-laut-china-selatan

CNBC. (2024). Ada Apa Xi Jinping? China Naikan Anggaran Perang Rp 3.600 Triliun. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20240305185234-4-519915/ada-apa-xi-jinping-china-naikan-anggaran-perang-rp-3600-triliun

Detik. (2024). Ditabrak Kapal China, Kapal Penjaga Pantai Filipina Rusak!. Diakses dari https://news.detik.com/internasional/d-7225934/ditabrak-kapal-china-kapal-penjaga-pantai-filipina-rusak

Detik. (2024). Menimbang Politik Strategis Indonesia Pasca-ASEAN. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-7188936/menimbang-politik-strategis-indonesia-pasca-asean

Indo-Pacific Forum. (2024). Filipina dan Vietnam memperluas kerja sama di Laut Cina Selatan. Diakses dari https://ipdefenseforum.com/id/2024/02/filipina-dan-vietnam-memperluas-kerja-sama-di-laut-cina-selatan/

Kabar24. (2024). Jelang Prabowo Jadi Presiden, Australia Peringatkan Asean soal Ancaman di Laut Cina Selatan. Diakses dari https://kabar24.bisnis.com/read/20240304/15/1746212/jelang-prabowo-jadi-presiden-australia-peringatkan-asean-soal-ancaman-di-laut-cina-selatan

Liputan6. (2024). Anwar Ibrahim Menolak Tekanan Barat: Malaysia Tidak Punya Masalah dengan China. Diakses dari https://www.liputan6.com/global/read/5542323/anwar-ibrahim-menolak-tekanan-barat-malaysia-tidak-punya-masalah-dengan-china?page=3

img
Author

KonotasiNews

0 Comments

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *